Alienasi Kaum Buruh 1 Mei (May Day) - Dalam memperingati Hari Buruh semua jajaran karyawan buruh serentak memperingatinya secara besar-besaran yang terkenal dengan May Day. diperingati oleh semua kaum buruh pada tanggal 1 Mei. Zaman modern identik dengan penguatan kapitalisme atas seluruh aspek kehidupan. Dalam dunia politik dan ekonomi pengaruh sang kapitalis(pemilik modal) sangat terasa dan mendominasi. Ketika kebijakan dirumuskan, kaum kapitalis menempati posisi yang kuat dalam penentu kebijakan yang dirumuskan pemerintah. Setiap tujuan-tujuan sang kapitalis seringkali mematahkan tujuan-tujuan masyarakat, mengkompromikan tujuan pemerintah, tidak jarang merugikan masyarakat, dan menyengsarakan buruh. Hampir di setiap aspek kehidupan bernegara sang kapitalislah yang menentukan arahnya oleh sebab itu para buruh menyuarakan dengan gerakan Alienasi Kaum Buruh 1 Mei (May Day).
Alienasi Kaum Buruh 1 Mei (May Day)
Penguatan kapitalisme atas politik dan ekonomi menyebabkan teralienasinya(terasingnya) kaum buruh dari dirinya sendiri. Hal tersebut sangat erat hubungannnya dengan kuasa modal yang mematikan posisi tawar kaum buruh karena kesempatan kerja yang terbatas dan pertukaran–pertukaran yang tidak seimbang antara waktu-kerja dan tenaga-kerja dengan hasil kerja yang diterima kaum buruh. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja menciptakan pengangguran sehingga mengakibatkan kompetisi di kalangan buruh sendiri semakin kentara. Alih-alih menuntut kesejahteraan dari sang kapitalis, justru mereka disibukan dengan kompetisi diantara mereka sendiri. Akhirnya kesejahteraaan menjadi terlupakan, yang ada cukup sekedar hasil minimal tanpa lahirnya kesejahteraaan. Keadaan tersebut membawa dampak lemahnya kaum buruh dalam posisi tawar dengan sang kapitalis.
Kalau diperhatikan secara seksama, paling tidak kaum buruh teralienasi dalam tiga hal. Pertama, kaum buruh teralienasi dalam waktu-kerja yang diinvestasikan dalam proses produksi sang kapitalis. Aturan waktu-kerja yang dikeluarkan sang kapitalis menciptakan ‘kerangkeng besi’ dalam penggunaan waktu-kerja bagi kaum buruh. Waktu-kerja yang dimiliki kaum buruh telah dijual pada sang kapitalis sehingga mengurangi waktu-keseluruhan yang dimiliki kaum buruh dan memenjarakan waktu di sel sang kapitalis. Penjualan waktu kemudian digunakan sang kapitalis dalam proses produksi untuk membuat barang maupun jasa. Bagi kaum buruh, penjualan waktu-kerja kepada sang kapitalis dalam proses produksi, hanya menghasilkan nilai-minimal dan tidak menghasilkan nilai lebih. Hal tersebut terjadi karena sang kapitalis telah membeli waktu dengan membayar biaya-dibatasi bagi kaum buruh. Sebanyak apapun waktu-kerja yang dikeluarkan dalam proses produksi maka hasil produksi yang diciptakan kaum buruh akan tetap-minimal dan tidak akan pernah melampaui nilai-lebih. Sementara kalangan kapitalis secara bebas menggunakan waktu-keseluruhan dan menerima waktu-kerja kalangan buruh sehingga menambah waktu-keseluruhannya semakin banyak. Di sini yang diuntungkan adalah sang kapitalis, sedangkan kaum buruh teralienasi oleh waktu-kerjanya sendiri.
Kedua, kaum buruh teralienasi dari pengeluaran tenaga-kerja dalam proses produksi. Kaum buruh telah menjual tenaga-kerja kepada sang kapitalis dengan biaya-dibatasi dalam kontrak-kontrak kerja yang disepakati. Dengan transaki kesepakatan tersebut, kaum buruh tidak lagi memiliki tenaga-kerja mandiri karena tenaga-kerja yang dimilkinya sudah menjadi milik sang kapitalis. Ketika tenaga-kerja dikeluarkan oleh kaum buruh dalam proses produksi untuk menghasilkan barang maupun jasa, kaum buruh tidak menerima hasil-kerja tersebut karena sudah bukan miliknya, melainkan milik sang kapitalis. Walaupun ada tenaga-kerja yang dikeluarkan pada waktu-kerja berlebih (lembur) pada hakekatnya mereka tidak memiliki hasil-kerja, bahkan sebaliknya hal tersebut sangat menguntungkan sang kapitalis karena semakin banyak waktu-kerja dan tenaga-kerja yang dikeluarkan kaum buruh maka semakin banyak pula nilai-lebih yang akan diterima sang kapitalis.
Ketiga, teralienasinya kaum buruh dari kebijakan pemerintah. Dalam proses perumusan kebijakan, kaum buruh termarjinalisasi oleh politik kepentingan pemerintah dan sang kapitalis. Pemerintah seringkali tidak mendengar tuntutan kaum buruh karena kaum buruh dianggap tidak memiliki arti penting dalam memberikan dampak positif bagi upaya membantu mempertahankan kekuasaanya. Bahkan tidak jarang artikulasi kepentingan kaum buruh yang seharusnya dirumuskan oleh pemerintah dan berpihak pada buruh tidak dipertimbangkan dalam sistem perumusan kebijakan. Yang terjadi aggregasi kepentingan kaum buruh hanya suara sumbang dan gaduh pada proses perumusan kebijakan. Di sini keberadaanya benar-benar sangat lemah dan tidak berdaya sama sekali. Pemerintah sebagai pihak yang mewakili dan menaungi warga negara seharusnya dapat menempatkan dirinya pada penciptaaan keseimbangan antara kepentingan kapitalis, kesejahteraan kaum buruh, dan ekonomi nasional. Sebaliknya, yang terjadi adalah lemahnya pemerintah ketika berhadapan dengan sang kapitalis dan kerugian-kerugian kaum buruh yang tidak terelakan.
Ketiga alienasi di atas benar-benar membuat kaum buruh tak memiliki kuasa tawar terhadap sang kapitalis dan pemerintah. Waktu-kerja dan tenaga-kerja yang seharusnya dimiliki, kenyataanya sudah dijual kepada sang kapitalis sehingga harapan-harapan yang seharusnya dapat menyejahterakannya semakin jauh dari kenyataan bahkan hanya utopi semata. Posisi yang lemah membuat kaum buruh tidak mampu mendesak sang kapitalis merubah kebijakan yang berpihak kepada kaum buruh. Sebaliknya sang kapitalis dengan keinginan-keinginannya sendiri yang selalu memenangkan kebijakan yang menguntungkannya dan tidak memperhatikan bagaimana meningkatkan kualitas kesejahteraan kaum buruh. Sang kapitalis terus menerus mengeruk nilai lebih dari waktu-kerja dan tenaga-kerja kaum buruh tanpa mendistribusikannya kepada kaum buruh secara adil sehingga yang tercipta adalah sang kapitalis yang semakin kaya dan kuasa dengan modalnya sementara kaum buruh semakin terpinggirkan dan termarjinalisasi dari dirinya sendiri. Dan pemerintah benar-benar mandul dalam proses perumusan kebijakan yang pro kaum buruh.
Pertanyaannya, mampukah kaum buruh memiliki kuasa atas dirinya ketika berhadapan dengan sang kapitalis? Mampukah kaum buruh memiliki kuasa atas dirinya ketika berhadapan dengan penguasa dalam menuntut kesejateraan yang seadil-adilnya?
Ada cara yang memungkinkan posisi tawar buruh menjadi kuat ketika berhadapan dengan sang kapitalis. Pertama, cara organisasi serikat buruh. Agar kaum buruh tidak dipandang sebelah mata dan hanya dijadikan mur dalam rangkaian mesin produksi, kaum buruh harus bersatu dalam sebuah naungan serikat buruh atau organisasi buruh dan dengan organisasi tersebut kaum buruh bergerak bersama dalam aksi gerakan sosial untuk menuntut hak-hak kesejahteraan kepada sang kapitalis. Aksi gerakan buruh diorganisir sedemikian rupa dengan mendesakan kepentingannya terhadap sang kapitalis agar mempertimbangkan kepentingan kesejahteraan kaum buruh. Jika cara tersebut tidak mampu mengubah arah sang kapitalis maka seruan pemogokan melalui serikat buruh hal lain yang dapat dilakukan. Pemogokan terhadap sang kapitalis harus dilakukan oleh seluruh kaum buruh dengan solidaritas serikat buruhnya. Hal tersebut bertujuan agar proses produksi tidak berjalan sehingga sang kapitalis akan menderita kerugian dan diharapkan dapat mengubah arah sang kapitalis agar mempertimbangkan kesejahteraan kaum buruh mengingat proses produksi yang tidak berjalan akan semakin merugikan sang kapitalis.
Kedua, cara corporate-cooporation. Jika cara pertama tidak manjur dan sama sekali tidak membuahkan hasil maka cara kedua adalah jalannya. Melalui cara ini kaum buruh harus bersatu dan mencipta corporate-cooporation yang keseluruhan proses produksi seperti alat produksi dan cara produksi dimiliki bersama serta hasil produksi dibagi bersama-sama. Dalam cara ini konflik dengan sang kapitalis tidak dapat dihindari. Kaum buruh dan corporate-cooperationnya harus berhadapan dengan sang kapitalis dan harus memenangkannya. Jika hal tersebut tercapai maka buruh tidak akan teralienasi dari dirinya sendiri.
Ketiga, corporate-buruh. Cara ini sebuah upaya yang dilakukan kaum buruh baik individual maupun kolektif dengan mencipta corporate yang memperhatikan kaum buruh dan mendistribusikan hasil produksi secara merata. Secara individual hal tersebut dapat diawali dengan keluarnya kaum buruh professional dari lingkaran sang kapitalis kemudian berupaya sungguh-sungguh dengan kemampuannya membangun corporate yang professional. Kaum buruh professional memegang peranan penting disini. Berhasil tidaknya tergantung pada kreativitasnya. Kaum buruh professional dalam proses produksi harus menguasai prosesnya dari hilir sampai ke hulu sehingga seluruh proses produksi dapat diawasi sedemikian rupa dan hasilnya dapat didistribusikan secara merata. Akhirnya kaum buruh tidak lagi teralienasi dari dirinya.
Keempat, partai-buruh. Untuk mengatasi lemahnya proses perumusan kebijakan yang pro kaum buruh, perwujudan kaum buruh dalam partai politik satu keharusan. Mewujudnya kaum buruh dalam partai politik dapat memudahkan tuntutan kaum buruh terhadap perumusan kebijakan yang pro kaum buruh. Setiap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kaum buruh dapat dirumuskan dan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga dapat menekan perumusan kebijakan pemerintah dan mencipta kebijakan pro kaum buruh. Jika kaum buruh sudah melembaga dalam partai politik posisi tawarnya kuat karena berada pada system politik legal dan berperan memainkan peran yang menentukan dalam perumusan kebijakan pemerintah sehingga kaum buruh dapat keluar dari teralienasinya ketika berhadapan dengan pemerintah.
Akhirnya, semoga kaum buruh tidak lagi teralienasi dari dirinya sendiri, setara ketika berhadapan dengan sang kapitalis, dan semoga kaum buruh memiliki posisi tawar dihadapan pemerintah.