Pahlawan Masyarakat

Pahlawan Masyarakat - Kita tidak pernah kehabisan tinta untuk menuliskan tentang apa itu pahlawan, apalagi setahun sekali setiap 10 November kita setia memperingatinya. Kado berharga tahun ini adalah penganugerahan pahlawan nasional kepada dwi tunggal  Soekarno-Hatta.

   Sulit untuk tidak mengakui bahwa pahlawan adalah sosok protagonis yang merupakan representasi simbolik dari seseorang yang memiliki pengalaman dari saat membaca, mendengarkan atau menonton peristiwa, sehingga relevansi pahlawan kepada individu kerap bergantung pada seberapa banyak kesamaan yang ada diantara mereka. Salah satu alasan mengapa pahlawan kerap hadir sebagai kisah interpretasi diri dan mitos akibat ketidakmampuan manusia melihat dunia dari sudut pandang apapun melainkan hanya satu pribadi.


   Pada adegan dunia modern misalnya, Napoleon adalah pahlawan epik, bukan karena ia semacam dewa, atau tuhan, melainkan menurut Hegel, seorang filsuf Jerman, karena ia menempatkan dirinya di kepala peristiwa, terlibat intens dalam peristiwa, terhubung langsung kepada diri sendiri, dan sejarah diselesaikan olehnya. Akan tetapi faktanya ia juga seorang pahlawan yang tragis dan menyedihkan.

   Dalam Ceramah Filsafat Sejarahnya, Hegel menyontohkan bahwa Julius Caesar tewas korban pembunuhan, Alexander Agung meninggal  oleh penaklukan dan Napoleon meninggal saat diasingkan di sebuah pulau. Ia juga menunjukkan bahwa tindakan pahlawan sejarah tidak selalu membawa mereka kepada kehormatan atau rasa syukur dari jamannya.

   Mengapa sebagian para pahlawan memiliki takdir yang mengenaskan? Pertama, bisa jadi pahlawan dalam arti sejarah, hanya instrumen yang mutlak. Jika dia hanya instrumen absolut, maka dia hanyalah korban dari keharusan sejarah: Napoleon binasa karena ia hanya memainkan peranan yang unik dan sementara pada adegan sejarah. Kitapun tidak lupa kisah Soekarno salah satu pendiri republik ini yang diakhir hidupnya “diasingkan” oleh rezim Orde Baru.
Kedua, sejarah tidak bisa terulang: keberhasilan pahlawan dalam satuan peristiwa sulit untuk dipercayai keberhasilannya kembali dalam episode yang lain. Pendeknya, pahlawan memang memiliki seribu wajah untuk dituliskan, didefinisikan, dipercakapkan bahkan digugat keberadaannya.

   Selain itu kisah pahlawan memang kerap diskriminatif. Ia milik segelintir kelompok elit sejarah. Karenanya sejarah kerap dituliskan untuk “orang-orang besar” melalui tindakan yang besar. Sejarah jarang mengabarkan seorang yang biasa-biasa saja melalui tindakan dan perjuangan yang luar biasa. Yang terakhir ini mulai diadopsi oleh institusi sebagai koreksi atas definisi pahlawan yang baku dan rigid oleh negara.
Joseph Champbell mempunyai definisi tentang pahlawan, yang hampir pasti akan diamini sebagian  orang, “A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself”. Dalam hal ini Joseph Champbell bisa jadi benar, ketika kita merasa hidup di sebuah zaman dimana kepentingan orang lain menjadi catatan nomor kesekian dalam hidup kita. Dan dalam setiap catatan itu, semuanya hampir memusat pada diri kita sendiri.

   Agaknya hal ini jugalah yang mengilhami panitia penganugerahan “award” katagori apapun yang terserak di negeri ini untuk mencari sosok yang dianggap dapat mewakili “citra ideal” manusia kelompok, institusi yang makin langka di zaman ini.
Mencari sosok yang tidak genit dengan urusan diri sendiri, apalagi dengan catatan tambahan yang kepeduliannya dianggap melampaui batas rata-rata manusia pada umumnya bukanlah perkara mudah. Masalahnya selama ini kita disuguhkan dengan kebisingan informasi yang memuat keburukan ketimbang kebaikan. Tentang pamrih daripada ketulusan hati, menghargai hasil instan dibanding kerja keras.

   Media banyak mengabarkan tentang hal itu secara telanjang.
Jika kita semua hampir jemu meneriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar kepada banyak urusan di negeri ini, maka di luar sana ada sekelompok manusia –tanpa teriakkan- bahkan bergumam pun-melakuan sesuatu bagi sekelilingnya tanpa peduli apakah cukup terdengar atau tidak. Tidak peduli apakah akan menarik perhatian orang ramai atau bahkan dukungan. Bagi mereka kerja konkrit sudah masalah tersendiri.
Dalam umur 30-an ini bidan Rosita yang bertugas di Kampung Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, yang berbatasan langsung dengan suku Baduy, mungkin sosok yang cocok dengan katagori Joseph Champbell tadi: seseorang yang telah memberikan hidupnya untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Kita tentu mengenal baik suku Baduy yang memiliki mitologi dan aturan adat yang syarat oleh pantangan. Ketertutupan mereka akan lingkungan luar untuk menjaga adat leluhur mereka, tercermin pula melalui penolakan terhadap pengetahuan kesehatan modern. Wilayah ini meliputi tanah ulayat suku Baduy yang mencapai 5.185 hektare mencakup 59 kampung, terdiri dari 3 kampung Baduy Dalam (Cibeo/Cikesik dan Cikartawanta) dan 56 kampung Baduy luar yang ditempuhnya melalui jalan kaki dengan konstur tanah yang curam. Di sanalah bidan Rosita bekerja.

   Pendekatan yang ia lakukan beyond seorang bidan, bak antropolog sejati, ia langsung masuk ke denyut peradaban suku baduy dan belajar mendengarkan mereka dengan sabar. Keuletan, ketulusan, dan kerja kerasnya selama 17 tahun memang tidak sia-sia. Ia meraup kepercayaan dan penerimaaan yang hangat dari masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar. Sesuatu yang tidak mudah untuk didapatkan.
Bahkan Ros satu-satunya bidan yang rekomendasinya diminta oleh suku Baduy Dalam dan Baduy Luar ketika berurusan dengan kesehatan. Bidan yang bersahaja ini tidak pernah  mempersoalkan berapa rupiah imbalan yang diterimanya. Bahkan penghasilan suaminya sebagai guru juga banyak menyokong untuk membeli obatbagi pasiennya.

   Selain Bidan Ros, Indonesia juga memiliki Datuak Pirak dari Nagari Bais, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Mantan kepala desa ini berhasil menggerakkan rakyatnya untuk menanam kemiri di lahan-lahan kritis daerahnya. Bahkan hal ini menjadi persyaratan wajib bagi setiap orang yang menikah untuk menanam 25 pohon kemiri. Hal ini berlangsung sejak  tahun 1976 hingga ia tidak menjabat lagi kini.
Keberlangsungan program ini tidak saja menjadikan lahan kritis di daerahnya berganti dengan rimbunnya pohon kemiri, juga kesejahteraan masyarakat jadi meningkat. Bidan Rosita dan Datuak Pirak hanyalah satu sosok di antara banyak sosok yang ingin kita jumpai dan kenali. Persona yang tahu apa arti tanggung jawab kerja, sangat mengerti tentang kebutuhan orang lain, dan paham bahwa  melalui kerja keras dan ketulusan, semuanya dapat diwujudkan.

   Para pahlawan masyarakat ini seakan mengingatkan kepada kita semua bahwa “pelayan publik” haruslah memberikan yang terbaik dari yang di milikinya. Agar kerja menjadi begitu bermakna bahwa kerja bukanlah sekadar ritual yang harus dijalankan dengan indikator kewajiban semata. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang akan dihasilkan dari sebuah mesin kewajiban yang sangat teknis mekanistik itu?
Kita lupa ada unsur proses “memanusiakan” jiwa didalamnya. Bidan Ros dan Datuak Pirak menunjukkan kepada kita bahwa proses kerja adalah bagian yang tidak pernah terpisahkan dari unsur  kepedulian, ketulusan, pengabdian, dan ketidakpamrihan. Kita tak terlalu sadar selama ini bahwa tiap proses yang terjadi adalah bagian dari sisi kemanusiaan kita yang terbatas dan tergantung. Kita mungkin perlu risau dengan pandangan yang menjauhkan kita dari proses memanusiakan diri ini, dan  menggugat kepada pelayan publik yang meletakkan kerja sekadar sebagai kewajiban yang harus dijalankan 

Jaleswari Pramodhawardani
Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI