Masalah Bersama Di Antara Kondom, Remaja, dan Politik

Masalah Bersama Di Antara Kondom, Remaja, dan Politik - Penyakit menular seksual dapat menular kepada siapa pun juga yang tidak berhati-hati. Tidak peduli yang “alim” maupun yang “mursal”. Yang tua maupun yang muda. Mereka yang “alim” dapat saja rajin ke gereja atau masjid, tetapi ketika godaan datang bisa saja mereka lengah dan mencari kepuasan seksual dengan mereka yang mengidap penyakit. Mereka yang terkena, kemudian memunyai potensi menularkan penyakitnya itu ke orang lain yang semula sehat. Penyakit menular seksual akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas seksual masyarakat.
 
Penelitian epidemiologis yang serius mengenai penjalaran penyakit menular seksual (PMS) ini di Indonesia belum pernah dilakukan. Seandainya pernah dilakukan, hasilnya tidak pernah diumumkan. Disimpan di arsip fakultas atau kementerian kesehatan, hanya sebagai arsip. Tidak pula digunakan untuk menyusun strategi atau program penanggulangannya.
Mungkin saja Kementerian Kesehatan mempunyai data seperti itu dan berkesimpulan bahwa cara penanggulangan penyebaran PMS yang perlu mendapat perhatian adalah menganjurkan mereka yang kehidupan seksualnya aktif agar memakai kondom, seperti pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi baru-baru ini. Pernyataan yang membuat banyak orang terkejut-kejut.
 
Masalah Bersama Di Antara Kondom, Remaja, dan Politik
Beberapa puluh tahun yang lalu ada laporan penelitian dari sebuah institusi kesehatan di Jawa Timur (saya mencoba mencari arsipnya belum ketemu), yang mengungkapkan bahwa lebih dari 30 persen ibu hamil yang memeriksakan diri ke institusi tersebut ternyata menderita infeksi Chlamydia, sejenis penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dari mana mereka ketularan? Tentu dari suami-suami mereka yang tidak berhati-hati ketika melakukan hubungan seks dengan orang lain yang mengidap penyakit tersebut. Sayangnya, penelitian itu berhenti sebatas penelitian. Tidak diikuti dengan program untuk pengobatan dan pencegahan yang lebih luas.
Kini masalah menjadi lebih mencemaskan dengan adanya HIV yang juga menular, terutama melalui hubungan seks. Berbeda dengan PMS yang lain, infeksi HIV dapat berujung menjadi AIDS yang mematikan. Berbeda dengan PMS yang lain, infeksi HIV tidak menimbulkan gejala yang akan membuat pengidapnya mencari pertolongan dokter. Mereka akan tetap mampu melakukan aktivitas hidup seperti biasa tanpa gangguan atau keluhan. Ini membuat mereka akan berpotensi menularkan ke orang lain. Celakanya lagi, infeksi HIV ini sudah dibebani stigma, seolah-olah hanya para pendosa yang terkena infeksi. Akibatnya mereka yang terinfeksi, seandainya pun tahu, akan  memilih bersembunyi, dan terus menularkan virusnya ke orang lain, termasuk isteri mereka di rumah.

Tetapi mengapa Menteri Kesehatan menganjurkan remaja memakai kondom, sehingga seolah-olah kondom merupakan satu-satunya solusi untuk mencegah PMS? Bukankah itu sama dengan menganjurkan remaja untuk melakukan hubungan seks? Tuduhan ini bernuansa pemelintiran berita. Rasanya tidak mungkin Menteri Nafsiah Mboi yang sudah lama bergelut dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan mengatakan begitu. Di seluruh dunia konsep pencegahan infeksi HIV melalui urutan A (abstinence), B (be faithful), C (condom) masih berlaku. Kondom hanya dianjurkan ketika orang tidak dapat memenuhi anjuran A dan B. Bahwa remaja perlu mendapat perhatian juga tidak keliru.

Remaja adalah usia ketika pertumbuhan biologis, termasuk seksualitas, sedang meninggi. Tetapi di sisi lain secara sosial dan psikologis dianggap belum matang. Usia ketika semangat berpetualang mencari pengalaman dan menantang risiko sangat besar. Termasuk dorongan untuk mencari pengalaman dalam hubungan seks. Semua itu mencerminkan pertumbuhan yang normal. Justru menjadi tidak normal jika ada remaja yang tidak mengalami pertumbuhan seperti itu.
Tetapi dorongan untuk berani melakukan hubungan seks bukan terjadi karena ada kondom. Dorongan itu lebih disebabkan oleh khayalan kenikmatan yang “diperkuat” oleh bacaan dan tontonan yang memacu birahi serta adanya peluang. Ada atau tidak ada kondom, mereka akan melakukannya kalau ada peluang, dan peluang itu sekarang semakin bertambah besar akibat perubahan sosial.

Di sisi lain, selama ini rayuan kenikmatan oleh bacaan dan tontonan yang memacu birahi tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang risiko buruk dari hubungan seks. Sehingga seperti juga kita mengajari anak tentang pisau, yang dapat bermanfaat tetapi dapat membahayakan. Dengan mengetahui bahaya penggunaan pisau yang salah, anak-anak kita akan lebih berhati-hati. Pendidikan tentang seksualitas, atau pendidikan kesehatan reproduksi, adalah untuk menjelaskan segi-segi risiko hubungan seks, sehingga mereka dapat memilih secara bertanggung jawab ketika mengalami dorongan untuk melakukan hubungan seks. Tetapi anehnya, pendidikan kesehatan reproduksi inipun ditentang oleh mereka yang “moralis”, tanpa mengetahui apa sebenarnya isi pendidikan tersebut.

Kondom adalah salah satu cara efektif untuk menghindari risiko buruk akibat hubugan seks, bagi mereka yang tidak dapat lagi bertahan pada anjuran A dan B. Seandainya saja semua remaja (dan orang tua juga) bisa bertahan untuk mengikuti anjuran A dan B, anjuran C (kondom) tidak perlu lagi. Dan penjalaran PMS tidak akan terjadi. Bahwa dalam kenyataan PMS, termasuk HIV masih terus bertambah,mengindikasikan bahwa masih banyak orang yang tidak bisa bertahan pada A dan B. Kepada mereka itulah dianjurkan untuk menggunakan kondom.

Kini tokoh-tokoh politik sudah mulai memanfaatkan ungkapan Menteri Kesehatan tentang kondom ini untuk, tentu saja, tujuan politis. Mengecam tetapi tidak memberikan solusi alternatif. Mereka yang “moralis” hanya berpegang pada satu solusi: pendidikan agama. Seolah-olah hanya dengan pendidikan agama, semua akan selesai.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan agama secara teoretis akan mencegah berbagai perilaku maksiat. Bukan hanya perilaku seks tetapi juga korupsi, perampokan, maling, dan sebagainya. Tetapi kenyataan dalam dunia ini tidak seideal itu. Pembuatan kitab suci pun dikorupsi. Lha kalau orang yang mengetahui, dan jelas mendapat, pendidikan agama saja masih korupsi, merampok, atau berperilaklu seksual yang menyimpang, apa pula yang belum setaraf mereka. Sementara itu penyakit menular seksual akan terus merayap menggerogoti pemuda dan keluarga Indonesia. Isteri-isteri di rumah tidak dapat menolak ketika ditulari oleh suaminya.
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)